“HUUUUUUUUUUUUUUUUAAAAAA,,,” begitu berat mataku tapi aku harus menyelesaikan cerita ini, deadline besok pagi tepat jam 9. Kalau sampai aku telat menyerahkan draf ceritaku ini, matilah aku. Karirku benar-benar diambang jurang kehacuran, ini adalah cerita yang bisa menyelamatkan karirku. Tentang kesempatan kedua, kesempatan yang diberikan saat kamu kembali dari pelarian, kau harus memperbaikinya, kau harus menyelesaikannya, sesuatu yang belum selesai. Kisah ini bukan hanya cerita tapi ini memang harapanku.
***
DUUUUUUUUUUUUUKKKKKKKK,,,
“Sitaaaaa,,, apakah kamu tertidur?” suara seorang laki-laki memanggil namaku.
“Haah” aku kaget dan dengan cepat aku menegakan badanku. Ya,,, aku tertidur, ternyata aku tidak kuat menahan kantukku . seingatku sudah tiga hari aku tidak tidur sama sekali, makanpun hanya mie instan yang siap seduh. Wah benar-benar berjuang untuk cerita ini. Kaget aku mendengar teguran itu dan kaget juga karena kepalaku terkatuk ke meja yang keras. “Hei,,, meja keras? Hanya meja keras??? Bukankan di depanku ada sebuah laptop, aku sedang menyelesaikan sebuah cerita. Terus sekarang aku dimana? Mengapa ada yang menegurku?
Aku berada di sebuah kelas. Hmmm,,, Mengapa aku ada di sini? Mimpikah? Aku mencoba mencubit pipiku,,, “Awwwwww,,, sakit” ternyata bukan mimpi. Ataukah aku sudah bermimpi menjadi seorang penulis barusan?
“Kenapa Sita??? Kamu kira ini mimpi?” tanya laki-laki itu.
“Huuuuuuuuuu,,,” serampak seisi ruangan menyorakiku.
Oh tidak,,, laki-laki itu adalah dosenku semasa kuliah, dosen yang terkenal galak. Haduh gawat,,,
“Hee,,, maaf Pak” ketar-ketir aku menjawab.
“Kelas itu bukan tempat untuk tidur, sana cuci muka biar kamu tidak bermimpi terus” perintah Beliau.
“Hahahaha,,,” anak-anak malah menertawakanku.
“ini juga berlaku untuk kalian semua, kelas itu bukan untuk tidur, apabila ada yang mengantuk, silahkan cuci muka dulu biar kalian lebih segar atau kalau kalian tidak berminat mengikuti kuliah saya silahkan keluar” tegas dosen itu.
Aku menuju kamar mandi, sepanjang jalan aku melihat. Ya,,, ini kampusku yang dulu. Bangunan yang khas karena bangunan ini merupakan hibah dari sebuah organisasi antara Indonesia dan Jepang. Jadi bangunannya berbeda dengan bangunan fakultas lainnya.
Di depan kaca besar di toilet, aku termenung. Mengapa aku ada di sini? Aku merasa ini bukan tempatku lagi. Tempat ini sudah lama aku tinggalkan, sudah lama menjadi kenangan di hidupku. Mengapa aku kembali kesini?
“Huuuuuuuuuufh,,,” aku menghela nafas. Aku tidak mungkin ada di toileti ini selamanya. Akhirnya aku kembali ke kelas tadi.
Kulihat masih teman-temanku yang dulu, benar-benar seperti dulu. Dosen itu begitu bersemangat menjelaskan hubungan antara adaptasi karena proses predasi atau mangsa-memangsa, dimana mangsa beradaptasi agar tehindar dari pemangsanya dan pemangsa beradaptasi untuk mendapatkan mangsanya. Ini matakuliah Ekofisiologi Hewan.
“Disaat seekor hewan keluar untuk mencari mangsa, sebenarnya hewan itu menyediakan dirinya sendiri untuk dimangsa oleh pemangsanya” jelas Dosen itu.
Sebuah kalimat yang mengandung arti dalam, bukan hanya sebuah materi dari perkuliahan tapi mengandung arti bahwa semua hal mempunyai resiko.
Haaa,,, tapi aku masih belum bisa fokus, aku masih berpikir, mengapa aku kembali kesini? Mungkinkah ini adalah kesempatan keduaku, benar-benar kesempatan keduaku? mungkinkah aku diberi kesempatan untuk menyesaikannya, untuk memperbaikinya. Benarkah aku kembali? Ataukah aku hanya bermimpi? kalau memang ini sebuah mimpi, ini adalah mimpiku yang paling buruk.
***
Masa ini adalah masa terberatku, aku bertahan karena orang tuaku. Tapi tenyata aku harus memilih dan aku memutuskan untuk tidak menyelesaikannya. Untuk pilihan itu aku mempertaruhkan sesuatu yang berharga, kebanggan orang tuaku. Kebanggaan karena melihat anak perempuannya dengan baju toga, kebanggaan karena anak perempuannya bergelar sarjana. Aku mengambil semua resikonya.
Rasanya sudah 2 tahun semua itu berlalu dan selama itu pula aku tidak berani pulang ke rumah. Aku tak berani menatap mata kedua orang tuaku, mata kecewa karena anaknya gagal menjadi sarjana. Di sisi lain aku beruntung, karena cerita-ceritaku bisa diterima pasar, dalam kurun satu tahun, aku melahirkan 2 karya best seller. Aku memang beruntung, berawal dari kumpulan cerita di blogku yang awalnya iseng. Atas saran temanku aku jadikan sebuah buku dan aku kirimkan ke penerbit. Ternyata keisenganku bisa menghasilkan uang. Karya pertama yang menjadi best seller. Keberuntungan masih berpihak padaku, karya keduaku berupa kumpulan puisi ikut diterbitkan dan kembali menjadi best seller. Aku terkenal sebagai Maya Sita, itu nama penaku.
Ternyata keberuntungan tidak selamanya berpihak padaku, roda kehidupan berputar. Semakin tinggi akan semakin kencang pula hempasan angin. Semakin aku terkenal semakin dituntut pula aku harus melahirkan karya yang lebih bagus lagi. Sesuatu yang cepat naik, akan cepat pula ia terjatuh, dan itu berlaku padaku. Karyaku yang ketiga tidak sespektakuler karya sebelumnya, malah tidak bergema sama sekali, padahal ini benar-benar aku kerjakan dengan serius berbeda dengan kedua karyaku yang merupakan karya-karya iseng pengisi senggangku. Entah apa yang salah? Mungkin karena dulu aku menulis dengan hati maka maksudnya pun akan sampai ke hati. Aku menulis karena aku ingin menulis. Tapi, sekarang aku tidak seperti itu, walau aku serius, aku melakukkannya bukan karena aku ingin menulis, aku melakukannnya karena aku harus menulis.
Setelah peluncuran karyaku yang ketiga, aku pun sadar, aku harus menulis lagi dengan hati. Tapi sepertinya tidak mudah seperti dulu, aku tidak mendapatkan inspirasi, seolah aku kehilangan hatiku. Mungkin memang benar aku kehilangan hatiku. Hatiku telah tertinggal di masa lalu, kasih sayang dan perhatian aku sudah lama meninggalkannya. Orang tuaku, aku sudah meninggalkan mereka.
“Andai aku diberi kesempatan kedua,,,” aku sempat bergumam.
***
“Kalian sudah semester berapa sekarang?” tanya seorang dosen saat mengakhiri kuliah kali itu.
“Semester 7, Bu” jawab kita serempak.
“Berarti kalian semester depan sudah ada yang harus menyusun skripsi kan? Sudah ada yang mengajukan judul? Jangan sampai berleha-leha ya, lulus lebih cepat lebih baik” nasehat Beliau.
Ya ini adalah semester 7, semester dimana semuanya berawal. Kali ini aku tidak boleh mengulangi kesalahanku yang dulu. Aku harus segera mengajukan judul, aku harus segera menyelesaikan penelitian, aku harus menjadi seorang sarjana. Aku harus membuat orang tuaku bangga. Setidaknya dengan begitu, usaha mereka tidak sia-sia.
Ini adalah kesempatan keduaku, aku tidak boleh menyia-nyiakannya. Ternyata, kebahagiaan itu tidak selalu datang dari kesenangan tapi terkadang ia datang dari sebuah kebanggaan.
***
“Oiii bangun,,, jyah ni anak kerjaan teh tidur ajah, itu mediumnya ngeluber tuh” suara itu sewot. Dan ternyata benar mediumku ngeluber.
“Waduh,,, gak sadar aku ketiduran unk , makasih Dee udah bangunin, haduh gimana ini,,, bantuin lah…” aku merajuk.
“ Jyah,,, makanya jangan tidur wae atuh Bu,,, gimana mau selesai ini penelitian kalau kerjaannya tidur ajah” gerutu Dee.
“Siap,,, Bu” jawabku sambil nyengir.
Haa,,, ternyata semua itu hanya mimpi. Tapi satu hal yang bisa aku ambil dari mimpi ‘geje’ itu. Ternyata, aku tidak harus menunggu kesempatan kedua karena kesempatan kedua itu belum tentu datang. Mimpi ini mengingatkanku agar aku tidak menyesal belakangan.
Hadapi apa yang harus dihadapi dan selesaikan apa yang harus diselasaikan. Berhentilah bersikap seperti pengecut. Allah tidak akan menguji seseorang melebihi dari kemampuannya. Aku pasti bisa. ‘S.Si.’ akan tersemat dibelakang namaku dan akan ku lihat raut bangga dari wajah mereka. Amin